0

Kepada Dia

Jika saja
kamu sesimpel 1 + 1 = 2
maka aku tidak perlu susah-susah
mencari kalkulator
atau menemukan formula

untuk membuat kamu
lebih mudah untuk dimengerti.

0

Rindu Hujan

“Life is not about waiting the storm to pass. It is about dancing in the rain.”

Ah, musim hujan. Aku selalu suka hujan. Ada romantisme tersendiri dari hujan, entah kenapa, mungkin datang dari percampuran antara cemas menemukan tempat berteduh, pengharapan melihat pelangi pas hujan selesai, dan merenung sendiri dari balik kacamata yang berembun. Hujan membawa itu semua: cemas, harap, dan perenungan.

Aku suka hujan. Aku suka menyetir mobil di bawah hujan sambil melamun, melihat jalanan melalui kaca yang dipenuhi oleh titik-titik air. Lalu aku menghapusnya dengan wiper, yang tentu saja percuma, hanya untuk melihatnya basah kembali: setitik demi setitik demi setitik demi setitik… hingga aku menghapusnya lagi. Dan ulangi. Lalu aku menyetel radio, bernyanyi sumbang, yang tersamarkan oleh bunyi kaca yang ditempa air. Aku suka tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku suka dibungkam tanpa sengaja.

Aku suka hujan. Terutama aku suka bau air yang bercampur dengan tanah, bau lumpur samar itu. Aku selalu menciumnya dengan brutal, menghirup dalam-dalam dan menahan napas, supaya tidak terlupakan oleh bau yang lain. Aku ingat, sewaktu masih kecil, aku selalu suka menari di bawah hujan, teriak bersama teman-teman dan mengecap rasa asin yang mampir di bibir. Dan ketika keesokannya harinya meriang? Aku gak peduli.

Tapi aku selalu takut dengan badai. Dengan kemampuannya untuk merusak, menghancurkan yang telah ada. Menyapu bersih apa yang pernah aku bangun. Menelan semuanya dalam satu kali jentikan jari, atau kurang. Badai dengan angin kencang, petir nyaring, dan kilatan yang menyilaukan mata. Badai bisa membuat orang hilang. Badai bisa membuat orang bimbang. Badai bisa, menyesatkan.

Dan ketika badai semacam itu datang,
yang diperlukan hanyalah keberanian untuk menari di bawah hujan.

Hei, kamu. Pegang tanganku.
Kita menari bersama. Ya?
(RD)

0

Cemburu 2

Kau
pernah memujanya..mungkin tanpa kau sadari
Dalam bahasa abstrakmu tak mampu
kau ingkari kagum mu
Dan
ku hanya terdiam..menyadari kelumit
ingin mu
Yang tak mungkin kau rengkuh…

Dan
ku tak ingin menjadi angin yang membelai mu
Yang menawarkan pengganti
asa angan di masa mu dulu
Aku ingin ku tau bahwa kau ada..
Ku ingin kau tau bahwa aku ada

Menelusuri
tapak langkahmu
Yang walaupun berhias
kelopak-kelopak bunga yang menghitam
Tapi tetap ku jumput dan
kurangkai..
Dalam bejana berhias tanya….

Ambil
tangan ku..letakkan di jantungmu
Aku
cermin mu
Dan jangan kau palingkan muka
kearah dinding tak berterawang itu
Sentuh hatiku..seluruh asa putih
ini punyamu

Aku
telah jauh berlari
Memunggungi cerita penuh coretan
dan tak hendak berpaling
Tapi langkahku berat menuju ke
arahmu walau ku tau kau disana menunggu
Ulurkan tanganmu..tangkap
asaku..bawa aku berlari dari bayang semu

Sentakkan hatiku..
Teriakkan di relungku
Ku tak mampu menepis ragu ini
aku terpalung cemburu

0

Cemburu 1

Aku cemburu,

Karna sinar rembulan

telah mendahuluiku

tuk memilikimu

Aku cemburu,

Karna kesunyian ini

Telah mendahuluiku tuk

bercengkerama denganmu

Aku cemburu,

Karna desiran angin

Telah mendahuluiku

Tuk selimuti hatimu

dengan sejuta raja’ku

Dan aku cemburu,

Mengapa semua mendahuluiku?