1

Ketika Itu Bukan Pilihan

“Gak terasa ya berapa jauh jalan Mataram dan Selong kita kelilingi dengan jalan kaki, tapi gak ada rasa lelah karena mulut kita terus berceloteh tenteng segala hal. kadang kita sedih, dan tak jarang kita tertawa terbahak-bahak, semuanya akan menjadi kenangan terindah dalam persahabatan kita, will you please never forget it even you already have a new there...”. Begitulah sekelumit tentang isi surat yang pernah tertulis oleh sahabatku menjelang keberangkatanku ke Kairo, yang cukup memberikan stimulan pada diriku sendiri untuk dapat selalu mengingat betapa seorang teman dan sahabat sangatlah berarti, karena sejatinya sahabat adalah orang yang dapat menghapus air mata ketika kita menangis, dan mampu menepuk pundak kita ketika kita lalai. Hingga kita tersadar bahwa ternyata masih ada orang di sekeliling kita yang sangat peduli dan menyayangi kita.

Tak tau kenapa kata dalam surat itu sangat menyentuh hati dan perasaanku ketika berulang kali membacanya, aku tenggelam dalam khayalanku dan sejenak bernostalgia dengan masa silam yang tak bisa hilang dari ingatanku ketika aku masih di tanah air. Sedikit kisah tentang dua orang sahabat yang selalu ingin mengisi waktu mereka dengan bersama-sama dalam kondisi apapun, dimanapun, dan kapanpun. Tapi tak kuasa dengan keadaan. omongan orang yang miring tentang persahabatan mereka yang terlalu dekat, larangan dari berbagai pihak agar mereka tidak selalu bersama lantaran status mereka saat itu adalah antara guru dan murid, karena saat itu memang ada larangan untuk anak murid terlalu dekat dengan gurunya, karena takut guru akan pilih kasih. Aku hanya mampu memendam tangis dan benci saat itu kepada orang yang mengeluarkan undang-undang tentang pelarangan tersebut, ingin rasanya aku berontak dan berteriak, kalo aku juga butuh seorang teman atau tepatnya adalah Sahabat, tapi aku tak mampu, kata2 itu hanya aku pendam dalam hati dan tak sanggup aku utarakan. Rasanya memang aku tak punya kekuatan dan kekuasaan untuk itu, akupun diam, dan diam.

Pernah suatu ketika aku mengirim surat kepadanya untuk bertemu, hanya ingin mencurahkan perasaanku dan mendengar cerita2 darinya, tak kunafikan juga bahwa aku rindu dengan sosoknya yang selalu mencoba membuatku tersenyum. Ketika kuberikan surat itu kepadanya lewat adik kelasku saat itu, dia tak langsung membalasnya, dia hanya memandangku dari kejauhan dengan raut muka yang teramat sedih, tak lama setelah itu adek kelasku datang dengan membawa surat balasan darinya, kemudian dengan tanggapnya kubuka lembaran itu dan... “Wa ainurridho an kulli aibin kalilatun,kama anna ainu as sukhti tubdil masawiya, ngertikan?” itulah isi dari balasan suratnya, butiran bening itu jatuh, tak kuasa kumenahan tangisku,dan hendak berbisik dalam hati, ya Tuhan apa salahku sehingga Kau jauhkan dia dariku?apa hubungan persahabatan ini tak Kau ridhoi?atau mungkin tak Kau takdirkan kami untuk bersama. Aku kembali menangis dan meratapi semua itu.

Waktu berjalan sesuai yang Ia kehendaki,tapi semuanya tak kunjung berubah,tapi keadaan cukup mendukungku,aku dan dia mulai dipertemukan dalam berbagai tugas,baik keluar dan kedalam,mengurusi hampir semua urusan pesantren keluar semuanya aku dan dia kerjakan bersama,bahkan ketika aku di utus untuk bertaggung jawab dengan pembangunan masjid di bali,aku meminta agar bersamanya,dan Al hamdulillah dari pihak pesantren sendiri tidak keberatan dan mengijinkan kami,aku senang sekali,karna dari situlah keadaan sedikit demi sedikit berubah,dan pandangan orang dan guru2 terhadap kami sudah mulai positif.

Mungkin kalau di bilang trauma tidak,justru semuanya kami anggap sebagai cobaan untuk menguji seberapa jauh keikhlasan kami dalam menjalin suatu ukhuwah yang tulus dari lubuk hati kami.semua itu tidak sama sekali menyurutkan tekad kami untuk selalu bersama dalam suka dan duka.dan dengan kejadian2 itu kami sepakat untuk terus berusaha memperbaiki kesalahan2 kami,dan mulai belajar ,mengerti dunia kami masing-masing dan mengenal hakikat persahabatan itu sendiri.oh betapa kerasnya hidup ini,hingga mampu memutar balikkan fakta seolah menjadi ilusi belaka.

Setelah bertahun-tahun kami menjalani hubugan persahabatan yang erat,banyak dari tamu2 pesantren yang mengunjungi pesantren kami salut dengan persahabat kami,salah satunya tamu dari singapura yang hampir tiap tahun menginjungi pesantren,tongkat sakti merupkan khas dari tamu tersebut,seorang mantan pemabuk dan bapak rumah tangga yang tak mampu memperthankan keluarganya.pernah suatu ketika ia menyampaikan kepada santri dan santriwati,bahwa ia akan mempersembahkan hidupnya di pesantren,ia ingin selalu bersama anak2,dan mati di pesntren. Subhanalloh. Dia penah bilang kalau aku dan sahabatku itu tidak seperti seorang teman layaknya,tapi lebih dari seorang adek ke kakaknya dan sebaliknya,dia bilang belum pernah iya menemukan pertemanan seperti ini,dan ia pun menasehati kami agar kami selalu menjaga hubungan ini dan jangan samapai hubungan kami ini rusak hanya dengan hal yang sepele yang tidak harus di permasalahan. Kami hanya bisa tersenyum sambil mengucapkan terima kasih banyak atas apresiasinya terhadap jalinan persahabatan kami.

Genap 3 tahun sudah kami melangkah bersama dalam tangis dan tawa,akupun sudah menyelesaikan belajarku selama 7 tahun di pesantren,dia yang sebentar lagi menyadang gelar entah apa namanya,yang jelas dia sudah menjalani masa kuliah diplomat 2,ya tepatnya kuliahnya PGSD. Sedang aku baru saja menyelesaikan pengabdianku di pesantren selama 1 tahun,orang tua yang memaksaku untuk masuk dalam dunia kedokteran,karna cita-citanya yang ingin melihat anaknya menjadi sosok wanita berbalut pakaian putih-putih berada dalam rumah sakit dan siap menolong banyak orang. Tapi takdir berkata lain,berita mendadak tentang diadakannya tes untuk masuk universitas tertua di dunia,akupun di panggil menghadap pimpinan pesantrenku,lalu hendak menyuruhku untuk mengikuti tes tersebut,beliau ingin sekali melihatku dapat mengecap pendidikan di luar negeri,agar kiranya nanti aku mampu membagi pengalaman dan mampu menarik temn-temanku untuk ikut jugabelajar disana,ketidak PDanku saat itu sempat menolak ajakan pimpinanku,karna keinginanku untuk belajar ke negeri barat,karna hoby dan dan masa pengabdianku ku gunakan untuk mendalami bahasa asing seperti inggris dan jerman. Aku yang tak bisa nahwu shorof,dan kurang menguasai mata pelajaran yang berbahasa arab lainnya membuatku sempat mundur,tapi dengan berbagai kebijak sanaan dari pihak pesantren dan aku juga lulus tes saat itu mampu membuatku mengetok palu keputusan dan mengantarkan aku ke negeri kinanah ini.

Di situlah di mulai kisah baru tentang aku yang kehilangan seorang sahabat,ingin rasanya aku membawaya pergi ketika iya mengantarku ke bandara,tak ingin melepas genggaman tangannya,pelukan cinta dan kasih sayangnya selama ini. iya berteriak dalam hati “aku tidak ingin kehilangan,aku tidak ingin kau pergi...” tak mampu lagi kami membendung air mata itu,antara tangis dan tawa,senyuman dan luka, betapa perpisahan ini merupakan cobaan terberat buat kami,kami belum sanggup, mungkin kami akan bertemu nanti,tapi entah...

Dalam riuhnya ruangan berAC tempat kami nunggu pesawat yang akan aku tumpangi,aku kembali membuka album foto yang ada pada handphone ku,satu persatu. Duhai sahabatku, ketika kau merangkulku penuh kasih sayang,lidah ini tak mampu berkata apa2, semua kata yang sudah aku rangkai sebelumnya sirna begitu saja karna melihat airmatamu yang terus mengair tanpa koma, andai saja waktu bisa terulang,ingin rasanya aku mengatakan apa yang selama ini aku pendam dan belum sempat aku ucapkan “i whouldn’t never forget it even when i’ve a new here... karna aku bener-bener menyayangimu sahabatku,lebih dari aku menyayangi diriku sendiri...ini bukan pilihanku untuk berpish denganmu,tapi ini kehendakNya yang aku yakin akan mengentarkan kita pada keadaan yang lebih baik seperti yang kita ingin kan”

mungkin kisah ini mengajarkanku bahwa aku memang harus banyak belajar untuk tidak mengulangi kesalahan masa silam,dan juga mulai belajar untuk menghargai orang lain,tapi aku enggan untuk memilih kata berpisah karna aku tak ingin ada yang tertinggal setelah kehilangan dan ada yang hilang setelah meninggalkan.karna masa depan dan masa lalu adalah sebuah ilusi. Selamat berjuang sahabat,aku akan selalu menjadi sahabatmu sampai kapanpun, kita tetap bersama walau pada tempat yang berbeda.

1 comments:

  1. Anonymous says:

    sabar n sabar

Post a Comment